Pernah gak kamu buka satu bungkus keripik, terus tanpa sadar udah habis semuanya?
Atau makan biskuit sambil nonton, eh tau-tau kotaknya kosong?
Dulu aku pikir ini masalah self-control aja.
“Aku kurang disiplin”
“Aku emang rakus”
“Aku orangnya gak bisa nahan nafsu”
Tapi ternyata ada sisi lain dari cerita ini.
Ada sesuatu dalam tekstur dan komposisi makanan kemasan yang secara literal mengubah cara ususmu berkomunikasi dengan otak. Dan itu bukan sepenuhnya salahmu.
Mari kita bongkar apa yang sebenarnya terjadi.
Kenapa Makanan Kemasan “Addictive”?
Industri makanan punya satu tujuan: bikin produk yang susah berhenti dimakan.
Mereka berhasil dengan tiga cara:
- Tekstur yang “lumer di mulut” – gak perlu banyak kunyah
- Kombinasi garam-gula-lemak yang tepat – aktifin sistem reward di otak
- Rasa yang selalu sama – kenikmatan yang bisa diprediksi
Yang bikin ini semua terjadi adalah zat aditif bermana Emulsifier atau Pengemulsi.
Emulsifier itu zat yang bikin dua bahan yang normalnya gak bisa nyatu (minyak dan air) jadi bisa dicampur dengan mulus. Hasilnya, tekstur makanan yang susah untuk ditolak.
Fungsi emulsifier di pabrik makanan:
- Bikin tekstur lebih halus dan lembut
- Perpanjang masa simpan produk
- Rasa dan tekstur yang selalu sama/konsisten
- Membuat bahan-bahan tetap tercampur rata
Semuanya sah-sah aja. Semuanya aman menurut aturan. Tapi ada kemungkinan efek lainnya yang perlu kita pahami.
Yang Terjadi di Usus Kita
Usus kita punya sistem deteksi nutrisi yang canggih. Ada neuron-neuron khusus yang “ngecek” apa yang kamu makan:
- “Oh ini protein berkualitas”
- “Ini lemak sehat yang dibutuhin”
- “Ini asam amino untuk repair otot”
- “Udah cukup kalori hari ini, akhirnya kasih sinyal kenyang”
Masalahnya: beberapa emulsifier bisa mengganggu sistem deteksi ini.
Research Terbaru (2025): Studi pada Pasien Crohn’s Disease

Studi ADDapt trial yang baru dipublikasi Februari 2025 menunjukkan hasil menarik.
154 peserta dengan penyakit Crohn (kondisi peradangan usus) dibagi jadi dua grup:
- Grup kontrol: Makan makanan kemasan seperti biasa
- Grup intervensi: Makanan identik tapi tanpa emulsifier
Hasilnya pada pasien Crohn:
- Pasien yang menjalani diet rendah emulsifier lebih dari 2x lebih mungkin untuk masuk ke masa remisi.
- Mereka juga menunjukkan penurunan signifikan pada peradangan usus, yang diukur melalui faecal calprotectin.
Fecal calprotectin adalah tes yang mengukur kadar protein bernama calprotectin dalam sampel tinja untuk mendeteksi dan memantau adanya peradangan di saluran cerna.
Penting untuk dipahami: Ini adalah studi pada orang dengan usus yang sudah bermasalah. Hasilnya nggak bisa langsung digeneralisasi ke orang sehat.
Tapi, paling nggak studi ini memberikan insight bahwa mengurangi asupan emulsifier bisa menjadi strategi yang efektif untuk mengobati penyakit peradangan usus yang ringan hingga ke sedang.
Status Regulasi
Fakta yang perlu diketahui: BPOM dan WHO sudah menetapkan status “aman” untuk semua emulsifier yang beredar. Mereka sudah melalui tes toksikologi dan dianggap aman dalam batas konsumsi normal.
Yang membuat situasi lebih kompleks: Penelitian tentang emulsifier dan usus baru berkembang dalam 10 tahun terakhir. Aturan keamanan dibuat sebelum kita tahu pentingnya kesehatan usus.
Penting dicatat: Penelitian tentang emulsifier dan usus masih baru. Para ahli masih belajar tentang efeknya pada tubuh yang berbeda-beda.
Jadi kondisinya: secara aturan resmi aman, tapi masih ada yang perlu diteliti lagi ke depannya.
Yang terbaik adalah daripada ribet nungguin perkembangan penelitian, mending mulai bangun kesadaran kalau ini memang ada kemungkinan buruk di dalam tubuh kita dan mulai kurangi makanan olahan.
Jenis Emulsifier yang Umum Ditemukan
Yang sering kamu lihat di label:
- Lecithin (soy lecithin, sunflower lecithin)
- Mono- dan diglycerides
- Polysorbate 80
- Carrageenan
- Xanthan gum
Seperti yang udah aku jelaskan tadi, meskipun sebagian besar zat aditif ini dianggap aman dan telah melewati pengujian ketat, pendekatan terbaik untuk kesehatan jangka panjang adalah dengan mengutamakan pola makan yang kaya akan makanan utuh yang minim proses.
Makanan yang hampir pasti ada emulsifier:
- Keripik kemasan
- Biskuit dan kerupuk
- Es krim
- Cokelat batangan
- Mayonaise
- Saus kemasan
- Susu protein bubuk
- Minuman kemasan manis
Bahan tambahan yang sering muncul bersamaan:
- Maltodextrin (bukan termasuk emulsifier, tapi pemanis tambahan yang sering ada di produk yang sama)
Meskipun bukan emulsifier, maltodextrin sering ada di produk yang sama dan punya efek sendiri:
- Bikin gula darah naik lebih cepat dari gula biasa (bisa bermanfaat buat atlet marathon yang butuh energi lebih cepat)
- Efek buruknya bisa pengaruhi bakteri baik di usus
- Biasanya ada di 90% produk yang diklaim “sehat” atau “tinggi protein”
Whole Foods vs Processed Foods: Perbedaan Fundamental

Intinya aku di sini bukan dengan tujuan untuk demonisasi emulsifier. Tapi tentang memahami perbedaan antara makanan utuh dan makanan olahan.
Makanan Utuh:
- Tekstur natural yang butuh dikunyah
- Serat yang trigger sinyal kenyang
- Kepadatan nutrisi tinggi
- Kombinasi lemak-protein-karbohidrat yang seimbang
Makanan Kemasan:
- Tekstur yang “lumer di mulut”
- Minim serat, tinggi kalori
- Dirancang biar ketagihan
- Gampang kebablasan makannya
Analogi sederhana: Makan satu buah apel vs minum jus apel kemasan. Apel utuh bikin kenyang karena serat dan ada proses mengunyah. Jus apel bisa habis segelas tanpa ngerasa kenyang.
Strategi Repair Usus
Gak usah ekstrem. Ganti dikit-dikit ke makanan yang minim proses.
Minggu ke-1: Ganti 1 jenis makanan kemasan
- Daripada keripik kemasan → kacang rebus atau buah potong
- Daripada biskuit kemasan → kurma + kacang atau ubi rebus
Minggu ke-2: Tambah 1 jenis lagi makanan kemasan yang mau diganti
- Daripada saus kemasan → sambal bawang (cabe + bawang + garam)
- Daripada minuman kemasan → air putih + lemon + cuka apel
Minggu ke-3: Fokus ke kesehatan usus
- Sayur bening/sop setiap hari (kangkung, bayam)
- Mulai tambahkan makanan dan minuman fermentasi (kefir, sauerkraut)
- Makan terakhir jam 7 malam, sarapan jam 7 pagi (12-jam jendela makan)
Makanan untuk Repair Usus
Makanan dan minuman fermentasi:
- Kefir
- Acar kubis/sauerkraut, acar timun
- Teh kombucha
- Yogurt plain tanpa gula tambahan
Makanan berserat tinggi:
- Sayuran hijau (kangkung, bayam, pakcoy)
- Buah dengan kulit (apel, pear)
- Ubi, singkong
Lemak sehat:
- Alpukat
- Kacang-kacangan
- Olive oil untuk salad
Timeline yang Realistis
Minggu 1-2: Mungkin masih ngerasa “kurang puas” sama makanan utuh
Minggu 3-4: Mulai bisa mengapresiasi tekstur dan rasa yang natural
Minggu 5-8: Sensitivitas lidah mulai reset
Minggu 9-12: Makanan kemasan mulai terasa kayak “terlalu tajam rasanya”
Jujur aja, Aku sendiri kadang masih makan makanan kemasan. Terutama kalau lagi kumpul keluarga atau situasi darurat. Yang penting adalah tingkat kesadaran dan frekuensinya.
Lama kelamaan bisa membuat aku lebih peka dengan konsekuensinya dan akhirnya punya strategi untuk recovery.
Kesimpulan: Bukan Soal Self-Control
Masalahmu bukan kurang disiplin.
Makanan kemasan memang didesain untuk susah berhenti dimakan. Tekstur dan rasanya diatur sedemikian rupa biar bikin ketagihan.
Solusinya bukan motivasi yang lebih kuat. Tapi memahami sistem dan menciptakan lingkungan yang mendukung pilihan sehat.
Transisi ke whole foods adalah tentang:
- Memulihkan komunikasi alami antara usus dan otak
- Membangun kembali apresiasi terhadap rasa dan tekstur yang natural
- Bangun pola makan yang bertahan lama tanpa perlu dipaksa
Dalam 2-3 bulan, kamu akan punya kontrol yang lebih natural terhadap makan. Bukan karena ngelawan nafsu, tapi karena nafsunya udah “disetel ulang”.
Usus kita lebih pinter dari yang kita kira. Kasih dia kesempatan buat bekerja dengan benar.
Akhir kata:
Terus belajar. Terus bergerak. Terus berserah.
Terima kasih udah baca.
Sampai jumpa Sabtu depan.
– Wigo SP
Referensi:
- DOP097 Emulsifier restriction is an effective therapy for active Crohn’s disease: the ADDapt trial – a multi-centre, randomised, double-blind, placebo-controlled, re-supplementation trial in 154 patients | Journal of Crohn’s and Colitis | Oxford Academic
- PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2016 TENTANG PERSYARATAN PENGGUNAAN BAHAN TAM
- How to Control Hunger, Eating & Satiety | Huberman Lab Essentials
Disclaimer: Artikel ini dibuat untuk tujuan informasi dan edukasi semata. Konten yang disajikan tidak dimaksudkan sebagai pengganti nasihat profesional di bidangnya. Pembaca disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli terkait sebelum menerapkan informasi yang diberikan. Penulis tidak bertanggung jawab atas tindakan yang diambil berdasarkan informasi dalam artikel ini.