Kamu Nggak Kecanduan Makan (Kamu Kelaparan Protein)

November 29, 2025
Wigo

Pernah nggak sih, kamu habis makan siang yang “lengkap”: nasi, lauk, sayur, semuanya ada. Perut penuh. Tapi 30 menit kemudian, kamu udah nyari camilan lagi. Malah biasanya gak usa nunggu 30 menit, udah kenyang masih aja nyari cemilan. 

Terus kamu batin: “Kok aku lemah banget sih? Kenapa susah banget kontrol mulut?”

Atau lebih parah lagi, kamu udah diet ketat. Udah kurangin porsi. Udah nahan lapar seharian. Tapi malamnya tetep aja kalap, buka kulkas, makan semua yang ada di dalem sana. Besoknya bangun dengan rasa bersalah yang luar biasa.

Tapi gimana kalau aku bilang: ini bukan soal kamu?

Gimana kalau aku bilang, selama ini kamu nyalahin hal yang salah?

Tubuhmu Nggak Peduli Seberapa Penuh Perutmu

Selama ini kita diajarkan konsep yang sederhana: “Makanlah sebelum lapar, berhentilah sebelum kenyang.” Kamu pasti sering dengar nasihat ini. 

Dan secara prinsip, nasihat itu bagus. 

Tapi coba pikir: nasihat itu lahir di jaman yang berbeda. Jaman di mana kalau kamu makan, ya kamu makan makanan utuh. Daging ya daging. Ikan ya ikan. Nasi ya nasi. Nggak ada yang “disembunyikan”.

Sekarang? Makananmu penuh manipulasi yang nggak kelihatan.

Sekarang kamu bisa “berhenti sebelum kenyang” tapi tetep aja sejam kemudian buka kulkas lagi. 

Kenapa? 

Karena yang kamu makan itu mengisi perut, tapi nggak mengisi kuota asam amino di otak.

Jadi nasihat “berhenti sebelum kenyang” itu masih relevan, tapi kurang lengkap tanpa satu pertanyaan penting: “Kenyang dari apa?”

Kenyang dari nasi, gorengan, dan gula tersembunyi? Atau kenyang dari makanan yang punya protein cukup?

Karena tubuhmu nggak peduli seberapa penuh perutmu, kalau asam aminonya nggak cukup, dia tetep akan kirim sinyal lapar.

Makanya ada fenomena yang namanya Protein Leverage Hypothesis.

Sederhananya: manusia akan terus makan sampai kuota proteinnya terpenuhi.

Kalau makanan yang kamu makan rendah protein (junk food tinggi karbohidrat, nasi dengan lauk seadanya) kamu akan otomatis makan lebih banyak kalori total hanya untuk mencapai kuota protein yang sama. Contoh kasarnya, tubuhmu rela menyerap 3000 kalori asal dapet 50 gram protein yang dia butuhin.

Jadi kita harus bisa membedakan dua jenis kenyang yang berbeda:

  1. Kenyang Volume → Perut penuh. Ini yang kamu rasain setelah makan nasi banyak, karbohidrat tinggi, serat tinggi. 
  2. Kenyang Nutrisi → Otak puas. Ini sinyal yang dikirim otak ketika tubuh nerima nutrisi esensial yang cukup, terutama asam amino dari protein.

Tapi di situlah masalah yang sering terjadi: perut penuh, tapi otak kelaparan.

Kenapa Asam Amino Itu Penting Banget

Mungkin sampai sini masih ada yang belum paham:

“Asam amino itu apa sih?”

Sederhananya: asam amino itu bahan dasar yang kamu dapat dari protein. Kamu makan protein (daging, telur, ikan, tempe) terus tubuhmu pecah jadi asam amino. Asam amino inilah bahan baku untuk membangun kembali beberapa jenis protein yang dibutuhkan tubuh (otot, enzim pencernaan, hormon, kolagen, dan antibodi sistem imun).

Jadi, asam amino itu bukan cuma buat otot aja.

Asam amino itu bahan dasar untuk neurotransmiter: pembawa pesan kimiawi di otak yang secara harfiah menjalankan hidupmu sehari-hari.

Misalnya:

  • Dopamin (yang bikin kamu termotivasi dan fokus) → dibuat dari asam amino
  • Serotonin (yang bikin kamu tenang, nyaman, dan nggak cemas) → dibuat dari asam amino juga

Otakmu secara harfiah nggak bisa berfungsi dengan baik tanpa asam amino.

Jadi sekarang coba bayangin: kamu makan nasi goreng, gorengan, minuman manis. 

Perut kenyang? Iya.
Asam amino cukup? Nggak.

Otakmu bilang: “Bro, aku butuh bahan dasar buat bikin dopamin. Aku butuh asam amino. Cari makan lagi sana!

Bukan karena kamu kecanduan makan.

Tapi tubuhmu lagi putus asa nyari protein. Dan dia nggak akan diem sampai kamu kasih yang dia butuhin.

Tubuhmu Dikontrol oleh Sesuatu yang Nggak Bisa Kamu Rasain

Tapi masalahnya nggak berhenti di situ.

Ternyata ada sensor gula tersembunyi di perut yang membajak sistem ini tanpa kamu sadari.

Ada penelitian yang dijelaskan Dr. Andrew Huberman. Mereka ambil sekelompok orang, terus bius total lidah mereka, jadi nggak bisa ngerasain apa-apa. Mata ditutup, jadi nggak tau mereka lagi makan apa. Terus dikasih dua jenis makanan: yang satu ada gulanya, yang satu nggak.

Hasilnya?

Bahkan tanpa bisa merasakan rasa manis, orang-orang itu tetep ngidam lebih banyak makanan yang mengandung gula.

Kenapa?

Karena ada neuron di perut yang mendeteksi keberadaan gula, tanpa harus ngerasain apa-apa. Sensor ini kirim sinyal ke otak, otak lepaskan dopamin, dan bikin kamu ngidam lebih banyak.

Kamu nggak bisa merasakannya. Kamu nggak bisa melihatnya. Tapi tubuhmu tau. Dan tubuhmu minta terus.

Sekarang coba bayangin makanan yang kamu makan kemarin:

  • Ayam goreng → marinasi dan bumbunya? Ada gula
  • Nasi goreng → bumbunya ada gula tersembunyi
  • Bakso → kuahnya ada gula
  • Mie instan → bumbu racikannya juga ada gula

Kamu pikir kamu lagi makan makanan gurih. Padahal sensor gula di perut udah aktif, ngirim sinyal dopamin, bikin kamu ngidam lebih banyak tanpa kamu sadari.

Ini bukan soal kamu yang lemah.

Ini soal mekanisme biologis yang dibajak tanpa kamu sadari.

Tapi Ini Bukan Cuma Soal Berat Badan

Ini yang jarang orang sadari.

Kekurangan protein itu nggak cuma bikin kamu ngemil terus. Itu bikin otakmu nggak bisa produksi neurotransmiter dengan baik. 

Dan ini bikin muncul gejala yang kamu pikir “masalah kepribadianmu”:

  • Brain fog, susah fokus
  • Mood naik-turun tanpa alasan jelas
  • Gampang capek padahal udah tidur cukup
  • Gak ada motivasi ngelakuin apapun
  • Ngerasa “nggak semangat” sepanjang hari (pengennya rebahan aja)

Kamu pikir itu masalah kepribadianmu. Kamu pikir “karaktermu emang kayak gitu”.

Padahal itu gejala dari otak yang kelaparan bahan dasar untuk bikin dopamin dan serotonin.

Kamu nggak malas. Kamu nggak lemah. Kamu secara biologis kekurangan bahan bakar untuk berfungsi dengan baik.

Dan yang lebih menyedihkan, selama bertahun-tahun kamu dinasehati gini:

  • “Emang susah dibilangin kamu ya”
  • “Jadi orang gak boleh gampang ngeluh”
  • “Semua orang juga susah kok”

Padahal otakmu benar-benar kelaparan bahan bakar. Tubuhmu dibajak sensor gula yang nggak bisa kamu kontrol. Tapi kamu yang dibilang “kurang disiplin”.

Kamu nggak gagal. Sistemnya yang dirancang buat bikin kamu gagal.

Jadi, Solusinya Apa?

Ini bukan soal jadi terobsesi ngitung kalori banget. Ini bukan soal timbang makanan tiap kali makan. Aku pribadi kurang setuju dan nggak ngajarin itu. Kecuali udah mentok nyoba segala cara, baru boleh coba ngitung kalori.

Tapi ini soal kesadaran yang sederhana: tubuhmu butuh protein. Dan kalau nggak dikasih, dia akan minta terus.

1. Utamakan protein di setiap makan

Sumber protein yang bisa kamu pilih:

  • Daging, ayam, ikan
  • Telur
  • Tempe, tahu
  • Kacang-kacangan

Target kasar: 20-30 gram protein per makan. Kamu nggak perlu serius banget ngitung kalori. Cukup sadar aja: “Oke, di piring ini ada sumber proteinnya nggak?”. Bisa coba browsing atau tanya AI aja, lama-lama nanti juga hafal sendiri porsinya.

Tentunya dengan serat yang cukup dan cara masak yang sehat kayak dikukus, direbus, dipanggang, ditumis, atau dipepes.

2. Amati respons tubuhmu

Kalau protein cukup:

  • Kamu bakal alami secara alami lebih jarang lapar di antara waktu makan
  • Ngemil jadi pilihan, bukan kebutuhan mendesak
  • Energi lebih stabil sepanjang hari

Kalau masih sering lapar tiap 1-2 jam, kemungkinan besar protein masih kurang.

3. Berhenti menyalahkan diri sendiri

Kalau kamu “gagal diet” lagi:

  • Jangan langsung menghakimi diri sendiri
  • Jangan langsung bilang “aku lemah”
  • Tanya dulu: “Apakah asupan proteinku hari ini udah cukup?”

Kebanyakan pasti masih kurang.

Tapi yang lebih penting dari semua ini: berhenti berpikir ini soal kontrol. Mulai berpikir ini soal mendengarkan.

Selama ini kamu diajarkan untuk melawan tubuhmu. Untuk mengontrolnya. Untuk memaksanya tunduk sama kemauan pikiranmu.

Padahal tubuhmu bukan musuh. Dia itu partner.

Dia cuma butuh bahan bakar yang tepat. Dia butuh kamu dengerin sinyalnya.

Kamu Lupa Bahasa Tubuhmu Sendiri

Sekarang aku coba pakai analogi sederhana:

Bayangkan kamu punya mobil yang dirancang pakai bensin.

Tapi bertahun-tahun, kamu isi solar. Terus heran kenapa mesinnya kasar, tenaga nggak keluar, sering mati mendadak.

Kamu bawa ke bengkel. Montir bilang: “Mobilnya bagus. Cuma salah bahan bakar.”

Tapi kamu nggak percaya. Kamu pikir mobilnya aja yang bermasalah. Jadi kamu terus pakai, sampai mesinnya makin rusak.

Sekarang ganti “mobil” dengan tubuhmu. Ganti “bensin” dengan protein. Ganti “solar” dengan karbohidrat dan gula tersembunyi.

Selama ini kamu nyalahin mesinnya.

Padahal cuma salah bahan bakar.

Tubuhmu nggak rusak. Tubuhmu itu jujur dan konsisten. Yang labil itu perasaanmu.

Dia udah kirim sinyal dari awal: “Aku butuh asam amino. Aku butuh protein.”

Tapi kamu sibuk ngelawan sinyal itu dengan “motivasi yang kuat”, sambil terus ngisi tangki dengan bahan bakar yang salah.

Kamu nggak lemah.

Kamu cuma lupa bahasa tubuhmu sendiri.

Jadi mulai sekarang, berhenti perang sama diri sendiri.

Mulai dengerin.

Mulai kasih apa yang dia butuhin.

Karena tubuhmu nggak pernah bohong.

Yang bohong itu sistem yang ngajarin kamu untuk nggak percaya sama tubuhmu sendiri.

Oke itu aja hari ini.

Akhir kata:
Terus belajar. Terus bergerak. Terus berserah.

Terimakasih udah baca sampai akhir.
Sampai jumpa Sabtu depan ya.

– Wigo SP

Referensi:
How Foods & Nutrients Control Our Moods | Huberman Lab Essentials


Disclaimer: Artikel ini dibuat untuk tujuan informasi dan edukasi semata. Konten yang disajikan tidak dimaksudkan sebagai pengganti nasihat profesional di bidangnya. Pembaca disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli terkait sebelum menerapkan informasi yang diberikan. Penulis tidak bertanggung jawab atas tindakan yang diambil berdasarkan informasi dalam artikel ini.


SUbscribe & temukan ide baru untuk self-growth

Setiap Sabtu pagi, kamu akan mendapatkan insight untuk hidup lebih sehat dan produktif! Join sekarang dan dapatkan Free Email Course: 6 Days to Reset Habits!