“Olahraga adalah bentuk self-love.”
Kalimat ini dijual industri fitness sebagai motivasi utama. Tapi buat aku, kalimat ini justru yang bikin aku nggak konsisten selama bertahun-tahun.
Dulu aku juga percaya narasi ini. Aku olahraga “untuk mencintai diriku sendiri.” Lebih tepatnya: aku olahraga karena pengen six-pack. Pengen validasi. Pengen foto topless di pantai dan dapet likes di Instagram.
Dan tau nggak? Itu bagus. Itu wajar.
Tapi hasilnya? Aku konsisten 3 bulan, terus berhenti. Gym 1 tahun, berhenti 2 tahun. Balik lagi, semangat beberapa bulan, terus kendor lagi. Pola yang sama berulang selama bertahun-tahun.
Aku sendiri klaim udah 10 tahun lebih jadi praktisi kebugaran itu maksudnya bukan 10 tahun bener-bener konsisten. Itu 10 tahun on-off. 10 tahun bergantung sama mood, motivasi, dan validasi eksternal.
Sampai akhirnya aku sadar satu hal: ternyata motivasinya keliru dari awal.
Sekarang, aku konsisten olahraga di rumah tanpa skip (biasanya cuma rest 1 hari dalam seminggu). Bukan karena tiba-tiba aku jadi manusia sempurna yang nggak pernah males. Tapi karena aku nemuin alasan yang lebih kuat dari sekedar six-pack atau likes di Instagram.
Kenapa Self-Love Gagal Sebagai Motivasi
Istilah self-love memang kedengarannya bagus. Siapa yang nggak mau “mencintai diri sendiri” kan?
Tapi ada yang salah dengan motivasi ini. Self-love itu lemah. Dia motivasi jangka pendek yang mudah kendor lagi begitu kamu udah mencapai target. Misalnya, kamu berhasil turunin berat badan 10 kg, habis itu apa yang biasa kamu lakukan? kamu balik lagi ke habit lama karena udah merasa “mencapai target”.
Dan mungkin ini statement yang sedikit kontroversial: sebenernya kita gak akan pernah bisa benar-benar mencintai diri kita sendiri. Boom! Menarik kan?
Tapi tunggu dulu, sebelum kamu tutup artikel ini dan bilang aku anti-self-love: aku nggak bilang self-love itu nggak penting. Self-love dalam konteks kesehatan mental (penerimaan diri, menghargai diri apa adanya, membangun kepercayaan diri) itu penting dan sehat.
Yang jadi masalah adalah kebanyakan orang cuma stop di level itu, padahal ada level berikutnya yang lebih penting.
The Hamster Wheel Problem

Di sinilah letak masalahnya: self-love sebagai motivasi itu kayak hamster wheel, kamu terus bergerak tapi nggak kemana-mana.
Kamu olahraga biar bisa lebih mencintai dirimu. Terus kalau udah cinta sama dirimu, untuk apa? Biar lebih langsing? Buat buktikan ke mantan kalau kamu bisa berubah? Atau biar gak dikatain tolol sama influencer?
Kebanyakan ujung-ujungnya pasti buat mendapatkan validasi. Validasi tercapai, oke saatnya berhenti.
Dan ini yang berbahaya: kamu jadi terbiasa dengan “memuaskan diri sendiri”. Apa yang nggak cocok sama dirimu, langsung ditolak. Dikritik dikit, langsung defensif. Kamu lebih suka informasi yang mudah kamu terima. Kamu lebih suka konten “marah-marah” daripada konten edukasi membosankan.
Kamu berakhir dengan fixed mindset. Stuck. Nggak berkembang. Merasa diri paling tau segalanya, padahal jauh di dalam lubuk hati, kamu merasa kekosongan yang kamu tutupi dengan kemarahan dan kesombongan.
Kenapa aku bisa tau? Ya karena aku pernah ada di fase itu.
Terus kalau misalnya solusinya cuma self-love, kenapa masih banyak orang yang ngerasa hidupnya kosong? Kenapa susah banget maintain habit positif? bahkan kenapa ada yang sampai depresi padahal udah bersyukur dan berdoa tiap hari?
Simple.. karena banyak yang gak sadar kalau akar masalahnya adalah egois. Terlalu memikirkan diri sendiri, sampai lupa bahwa hidup gak pernah bisa “sendiri”. Bahkan sampai matipun kita gak bisa kubur badan kita sendiri.
Guyonan orang jawa itu “Wong lek kedonyan, mati kubur dewe” (Orang kalau terlalu duniawi/serakah, mati kubur sendiri), nah ini yang benar-benar butuh kamu renungkan tiap hari.
Apa solusinya kalau bukan self-love?
Jadi, yang kita butuhkan bukanlah self-love melainkan selfless. Sama-sama “self” tapi dengan pendekatan yang berbeda.
Self-love itu nggak bisa bikin kamu konsisten. Bahkan mungkin, self-love justru yang bikin kamu berhenti olahraga karena bukannya ngerasain “love” tapi malah ngerasa tersiksa. Ini cukup bisa menjadi bukti kalau sebenarnya kita gak akan pernah bisa mencintai diri kita sendiri.
Selfless artinya: motivasimu bergeser dari “aku olahraga untuk diriku” menjadi “aku olahraga karena ada yang butuh versi terbaikku”. Dari menjadikan dirimu pusat segalanya, menjadi mengabdi untuk sesuatu yang lebih besar.
Ini bukan sekedar permainan kata. Ini pergeseran cara berpikir yang bikin perbedaan antara aku yang dulu on-off 10 tahun vs aku yang sekarang konsisten tanpa skip.
Tapi apa sih sebenarnya yang membuat kita percaya banget sama motivasi self-love?
Kenapa motivasi mainstream ini justru bikin kamu berhenti dari olahraga?
Ini ada 3 kebohongan besar di balik narasi self-love. Kebohongan yang aku sendiri percaya selama bertahun-tahun, sampai akhirnya aku sadar aku ditipu.
Kebohongan #1: “Kamu Gak Bisa Mencintai Orang Lain Sebelum Kamu Mencintai Dirimu Sendiri”

Ini mungkin mantra paling populer di industri pengembangan diri. Kamu pasti sering denger ini di quote Instagram, di podcast motivasi, bahkan di buku-buku bestseller.
Dan kedengarannya bijak banget, kan? Kedengarannya seperti kebijaksanaan mendalam yang harus kamu terima sebagai kebenaran mutlak.
Tapi menurutku ini salah.
Coba lihat aja single mom yang kerja 3 shift buat bayar sekolah anaknya. Dia nggak punya waktu untuk “ritual mencintai diri sendiri”. Nggak ada waktu buat afirmasi pagi di depan cermin sambil peluk diri sendiri. Bahkan nggak ada waktu atau uang buat “healing”.
Apakah dia mencintai dirinya sendiri dulu baru bisa mencintai anaknya?
Nggak kan.
Dia bangun jam 4 pagi. Dia kerja sampai malam. Dia skip makan siang supaya uangnya cukup buat beli susu anaknya. Di tengah kelelahan dan ketidakpastian hidup, dia mencintai anaknya dengan sepenuh hati.
Dan justru dari situ, dari mencintai sesuatu diluar dirinya, dia belajar menghargai dirinya sendiri. Dia menemukan kedamaian di tengah kekacauan, bukan karena hidupnya jadi lebih mudah, tapi karena dia punya alasan yang jelas kenapa dia ada di dunia ini.
Mencintai diri sendiri bukan syarat untuk bisa mencintai orang lain. Mencintai diri sendiri adalah hasil alami dari melayani dan mengutamakan orang lain daripada dirimu sendiri.
Kamu nggak perlu “mencintai diri dengan sempurna” sebelum bisa hadir untuk orang lain. Justru dengan hadir untuk orang lain (dengan melayani, dengan berkorban, dengan tetap hadir meskipun susah) kamu menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya. Karena pada dasarnya mencintai itu memberi bukan menerima.
Bukan berarti kamu harus berkorban mati-matian untuk manusia siapapun itu ya (anak, orang tua, pasangan). Kalau kamu merasa “aku gak bisa hidup tanpa orang ini” itu udah bukan melayani tapi menyembah. Ini udah beda topik dan konteks, fokus sama pesan yang aku sampaikan aja.
Dalam konteks olahraga: Kamu konsisten bukan karena “mencintai dirimu”, tapi kamu konsisten karena tubuhmu walaupun gak pernah diperhatiin, dia tetep bantuin kamu beraktivitas sampai hari ini. Dan kamu konsisten karena untuk orang yang kamu sayang, biar kamu bisa selalu hadir buat mereka bukan malah merepotkan mereka karena kamu jadi sering sakit-sakitan. Disini kamu mulai menghargai tubuhmu sebagai alat, bukan sebagai berhala yang harus dipuja.
Kebohongan #2: “Ikuti Perasaanmu”

Ini sangat-sangat berbahaya.
“Dengarkan tubuhmu.”
“Hargai perasaanmu.”
“Kalau dirasa nggak enak, jangan dilakukan.”
Ini ada di mana-mana. Di setiap influencer kesehatan. Di setiap postingan soal merawat diri. Bahkan aku sendiri sering bikin postingan “dengarkan tubuhmu”, tapi masih banyak yang salah tangkep.
Memang kedengarannya kayak kamu akhirnya kasih izin pada dirimu untuk istirahat, untuk “selow dulu gak sih”, untuk nggak terlalu keras pada diri sendiri. Oke, ini bagus.
Tapi tanpa disadari, ini jadi pembenaran untuk semua bentuk pelarian.
Misalnya:
- Lagi nggak pengen olahraga? “Oke, aku harus dengarkan tubuhku.”
- Tau harus tidur tapi malah bikin kopi dan begadang nonton series? “Oke, aku hargai perasaanku, aku butuh me-time dulu.”
- Pengen makan junk food jam 11 malem? “Oke, aku memang berhak dan aku lagi merawat diri sendiri.”
Tanpa disadari, kamu udah 6 bulan nggak olahraga. Kamu udah naik berat badan 15 kg. Metabolisme kacau. Energi turun. Mood naik-turun tiap hari.
Tapi nggak apa-apa kan? Karena kamu lagi “mendengarkan tubuhmu”.
Jangan tertipu guys. Ini bukan merawat diri. Ini merusak diri sendiri dengan packaging yang lebih menarik.
Aku nggak bilang perasaanmu nggak penting. Aku nggak bilang kamu harus abaikan semua sinyal dari tubuhmu. Ada waktu dan tempat untuk benar-benar istirahat. Ada momen di mana tubuhmu butuh pemulihan, yang dimana terlalu memaksakan diri juga malah bikin tubuh cedera.
Tapi kamu nggak bisa cuma bergantung sama perasaan.
Sadar gak kalau perasaan kita itu berubah-ubah setiap hari bahkan setiap menit? Kadang seneng, sedih, marah, takut, kecewa. Perasaan kita itu labil banget.
Kalau dikasih pilihan, mau percaya nasehat dari anak kecil atau orang dewasa? Pasti kita milih nasehat dari orang dewasa karena menganggap anak kecil itu labil.
Betul apa betul?
Jadi, ngapain kita percaya sama perasaan kita sendiri kalau tau itu labil? Makes sense kan?
Bahkan aku pribadi pas lagi seneng atau bahagia, aku melatih diriku untuk nggak percaya sama perasaan ini. Soalnya aku udah tau perasaan seneng pun cuma sementara.
Jadi balik lagi, kalau ngomongin olahraga ada perbedaan besar antara “aku butuh istirahat karena benar-benar tubuhku butuh pemulihan” dengan “aku nggak pengen olahraga hari ini karena malas atau nggak mood.”
Disiplin adalah melakukan apa yang harus dilakukan, meskipun kamu nggak pengen. Bahkan terutama saat kamu nggak pengen.
Karena kalau kamu cuma bergerak saat kamu “pengen”, kamu bakal jarang bergerak. Perasaan itu berubah-ubah. Mood itu naik-turun. Tapi komitmen itu tetap dan stabil.
Perasaan dikasih masukan dari pikiran. Komitmen yang memutuskan tindakan.
Perasaanmu bilang: “Hari ini capek banget nih.” Tapi komitmenmu yang memutuskan: “Oke capek, tapi aku tetap lakuin. Nggak harus maksimal, yang penting nggak skip.”
Dan paradoksnya: saat kamu tetap lakuin meskipun nggak pengen, perasaanmu akan berubah SETELAH kamu selesai. Berapa kali kamu ngerasa nggak pengen olahraga, tapi setelah selesai olahraga kamu merasa happy?
Itu bukti bahwa perasaan bukan kebenaran mutlak.
Kebohongan #3: “Cintai Dirimu Apa Adanya”

Ini kedengarannya seperti penerimaan diri yang radikal dan indah. Dan dalam banyak hal, penerimaan diri itu sangat penting.
“Semua bentuk tubuh itu cantik.”
“Kamu sempurna apa adanya.”
“Nggak ada yang salah sama tubuhmu.”
Pesan yang kuat. Pesan yang penting, terutama di budaya yang terus-menerus membombardir kamu dengan “keserakahan”.
Tapi ada perbedaan tipis (sangat tipis) antara “menerima diri apa adanya” dengan “terjebak di tempat yang sama karena merasa udah cukup baik.”
Dan industri self-love sering bikin kamu bingung bedain keduanya.
“Aku harus cintai tubuhku apa adanya” bisa jadi alasan untuk nggak mau berubah, nggak mau berkembang, nggak mau bertumbuh. “Aku harus terima diriku apa adanya” bisa jadi pembenaran untuk tetap di zona nyaman selamanya.
Bahkan doktrin lebih parah: “Kalau kamu mau berubah, berarti kamu nggak cinta sama dirimu sendiri.”
Oke, bagus. Lakukan terus seperti itu sampai kamu menemui ujung jurang yang bikin kamu mau gak mau harus putar balik badan kembali ke jalan yang benar.
Penerimaan diri itu titik awal, bukan tujuan akhir.
Kamu boleh (bahkan harus) menerima bahwa hari ini kamu belum di tempat yang kamu mau. Terima bahwa tubuhmu belum sebugar yang kamu harapkan. Terima bahwa kebiasaanmu belum sebaik yang kamu inginkan.
Tapi penerimaan bukan berarti berpuas diri. Penerimaan bukan berarti berhenti.
Ada quote yang aku suka (lupa dari siapa): “Kalau itu penting bagi kita, kita akan menemukan jalan. kalau tidak, kita akan menemukan alasan.”
Kalau pertumbuhan itu penting buat kamu, kamu akan cari jalan. Tapi kalau kamu cuma mau kenyamanan, “penerimaan diri” jadi alasan yang sempurna.
Penerimaan diri yang sehat itu kayak gini: “Oke, hari ini aku 20 kg kelebihan berat badan. Aku terima itu sebagai kenyataan. Aku nggak benci diri sendiri karena ini. Tapi aku juga nggak akan tinggal di sini. Aku terima sebagai titik awal, bukan sebagai tujuan akhir.”
Dalam konteks olahraga: Cintai tubuhmu dengan cara yang benar dengan merawatnya, dengan menantangnya untuk berkembang, dengan kasih asupan yang baik, dengan istirahat yang cukup, dan dengan bergerak konsisten.
Cinta yang sejati bukan memanjakan diri. Cinta yang sejati adalah komitmen untuk terus bertumbuh.
Tubuhmu Bukan untuk Disembah (Tapi Dipakai Melayani)

Tubuh sehat bukan untuk dipajang di Instagram. Bukan untuk flexing six-pack. Bukan untuk kompetisi “siapa yang paling self-love”.
Tubuh sehat adalah alat. Alat untuk melayani sesuatu yang lebih besar dari dirimu sendiri.
Anakmu butuh orang tua yang bisa hadir sampai mereka dewasa. Bukan orang tua yang nafasnya ngos-ngosan naik tangga saat mereka SMA nanti.
Pasanganmu butuh partner yang dapat diandalkan. Yang punya energi untuk hadir, bukan yang selalu capek dan pemarah karena gula darah naik-turun kayak roller coaster.
Karyawanmu butuh leader yang kuat. Kalau kamu punya visi besar tapi sering sakit-sakitan, gimana mau jadi role model? Yang ada malah jadi beban tim.
Dan disinilah paradoksnya: saat kamu berhenti menjadikan self-love sebagai motivasi utama dan mulai hidup dengan mindset selfless, kamu malah jadi lebih konsisten.
Karena selfless itu perjalanan tanpa batas. Selama ada yang butuh kamu, kamu nggak punya alasan untuk berhenti.
Praktik Mulai Besok
Besok pas bangun pagi coba tanya ini:
“Siapa yang butuh aku hari ini dan di masa depan?”
Pas pengen skip olahraga, jangan cuma visualisasikan six-pack-mu. Visualisasikan momen kamu bisa hadir untuk orang yang kamu sayang. Visualisasikan energi yang kamu punya untuk melayani dengan maksimal.
Bahkan kalau misal kamu ngerasa orang terdekat udah gak ada yang peduli dan gak ada yang butuhin kamu. Coba deh random ke luar jalanan yang belum pernah temui, pasti ada aja orang yang minta tolong ke kamu. Itu artinya masih ada orang yang butuhin kamu.
Tubuhmu adalah alat untuk melayani, bukan disembah.
Dan ingat: ini semua proses. Nggak ada yang instan. Bahkan sampai sekarang aku masih suka soal penampilan fisik, makanya perut six-pack ku masih ada. (narsis dikit hehe)
Bedanya: sekarang aku tau itu bukan yang utama.
Kesimpulan: Alasan Sebenarnya Kamu Berolahraga
Disiplin olahraga bukan tentang self-love.
Disiplin olahraga adalah tentang selfless: tentang mempersiapkan dirimu untuk melayani sesuatu yang lebih besar. Untuk hadir buat orang yang butuh kamu. Untuk menjalani misi yang lebih besar dari ego-mu sendiri. Bahkan untuk Tuhan yang masih memberikan nafas sampai hari ini.
Aku nggak bilang kamu harus langsung bisa berubah mindset besok pagi. Aku juga nggak bilang pengen six-pack atau validasi itu salah. Semua adalah proses. Nggak perlu tunggu kondisi sempurna. Mulai aja dulu.
Karena paradoksnya: saat motivasi bukan lagi cuma tentang kamu, kamu malah nemuin cara bertumbuh dengan pikiran, tubuh, dan jiwamu.
Jaga tubuhmu bukan karena kamu berhak sehat, tapi karena ada yang berhak mendapatkan versi terbaikmu.
So, don’t love yourself but love others.
Dan pastikan orang terdekatmu merasa bahagia kamu ada disekitarnya.
Oke itu aja hari ini.
Akhir kata:
Terus belajar. Terus bergerak. Terus berserah.
Terimakasih udah baca sampai akhir.
Sampai jumpa Sabtu depan ya.
– Wigo SP
Disclaimer: Artikel ini dibuat untuk tujuan informasi dan edukasi semata. Konten yang disajikan tidak dimaksudkan sebagai pengganti nasihat profesional di bidangnya. Pembaca disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli terkait sebelum menerapkan informasi yang diberikan. Penulis tidak bertanggung jawab atas tindakan yang diambil berdasarkan informasi dalam artikel ini.



